Christmas Story #2

| Jumat, 02 Desember 2011
Saat itu hari Rabu pagi, tanggal 24 Desember 2009 aku sedang beres-beres rumah untuk persiapan Natal nanti malam. Ketika aku hendak membuang brangkal ke tempat sampah, aku lihat di sana ada sebuah buku catatan kecil. Kemudian aku ambil buku itu. Buku itu terlihat sudah tua namun sangat terawat. Di sampulnya ada tulisan dari tinta emas yang bertuliskan "Rio, Penulis Jalanan". Hmm, siapa ya dia batinku berkata. Ketika ku buka sampulnya di halaman pertama aku lihat tulisan lain yang bertuliskan "Ketika Sebuah Kehidupan Dimulai Dengan Sebuah Tulisan". Aku semakin penasaran. Kemudian aku tinggalkan brangkal itu dan aku kemudian duduk di teras rumahku dan aku mulai membaca buku catatan itu.

Senin, 12 Desember 2001, di sore hari yang kelambu, di antara dua buah pohon Willow dua sosok duduk bernaung di bawahnya. Mereka membuat semacam tenda untuk berteduh hari ini. Mereka terlihat lelah setelah berusaha menaklukan Yogyakarta, namun mereka seperti tak mendapatkan hasil sedikit pun. Wajah mereka yang kotor karena debu dan asap knalpot. Sedikit pun senyum tak tersungging di wajah mereka. Pakaiannya kotor dan kulitnya terbakar karena berlari-lari di bawah terik matahari mengejar nasib yang meninggalkan mereka.

Selasa, 13 Desember 2001, di siang hari yang terik aku kembali melihat mereka yang kemarin duduk di bawah pohon willow; Mereka menggelar barang dagangan mereka. Mereka berteriak-teriak untuk mendapat perhatian dari orang yang berlalu lalang di jalanan. Walaupun mereka sudah berteriak namun orang-orang terus saja berjalan seakan-akan mereka tidak melihat ada orang di pinggir jalanan. Mobil-mobil yang berlalu lalang mengepulkan asap kendaraan ke arah mereka. Sirine berbunyi. Para petugas melakukan razia pkl. Kedua sosok itu pun bergegas pergi agar mereka tak ditangkap para petugas. Para penjual lainnya ada yang ditangkap paksa, ada yang dilecehkan dengan kata-kata, ada yang dipukul dengan tongkat hingga tongkatnya patah. Kedua sosok itu berhasil pergi dengan sembunyi-sembunyi ke bawah jembatan dan berdiam di sana sampai para petugas itu pergi.

Rabu, 14 Desember 2001, pagi itu aku berhasil menemui mereka. Mereka masih di bawah jembatan tempat kemarin mereka bersembunyi. Aku berkenalan dengan mereka. Yang tinggi kurus berwajah satir, dan terlihat seperti kurang gizi, umur sekitar 20 tahun bernama Doni dan yang pendek gembul, wajah baby face, rambut di cukur habis umur sekitar 20 tahun bernama Ali. Mereka memang asli Yogyakarta. Mereka dulu tinggal di daerah pedesaan yang dekat dengan hutan. Di sana seluruh warga desa hidup dari hutan tersebut. Hutannya masih terjaga hingga suatu hari perusahaan swasta yang dibarengi dengan perusahaan negara mengusir warga desa tersebut untuk membangun semacam hotel dan jalan raya. Ali dan Doni terpisah dari keluarganya dan mereka bekerja serabutan untuk menghidupi kehidupan mereka. Masih banyak lagi yang mereka kisahkan namun mereka sepertinya tak merasa nyaman oleh sebab itu aku mengajak mereka ke rumah keesokan harinya.

Kamis, 15 Desember 2001, pagi-pagi sekali aku bangun untuk menemui mereka di jembatan kemarin kami bertemu dan aku dapati mereka masih di sana. Kemudian aku mengajak mereka untuk ke rumahku, namun mereka menolak dengan halus malah mereka mengajakku ke suatu tempat yang aku sendiri belum penah kunjungi. Mereka membawaku berjalan menyusuri pinggiran kota. Diujung jalan sana ada jalan setapak. Aku dibawa mereka ke sana dan kupikir sudah sampai tapi ternyata belum. Kami melewati kaki gunung lalu berkelak-kelok sambil menyusuri sungai. Dari hilir sampai ke hulu. Kemudian dari jauh aku melihat seperti sebuah perkampungan. Kumuh tepatnya. Kami pun masuk ke dalam perkampungan itu. Di dalam sana aku melihat ada kakek-kakek, nenek-nenek, yang duduk di pinggiran rumah. Lalu aku melihat ibu-ibu yang berkumpul sedang mengerjakan sesuatu. Anak-anak kecil bermain dan berlari keluar masuk hutan. Ketika aku menanyakan siapa mereka, Aldi dan Doni memberikanku jawaban yang sangat mengejutkan ternyata penduduk yang aku lihat itu adalah penduduk yang kemarin diceritakan oleh mereka. Lalu aku bertanya pada mereka apa yang bisa aku bantu dan jawaban mereka sederhana sekali. Tolong jangan usik kami lagi. Aku pun terbengong-bengong mendengar jawabannya.

Jumat 15 Desember 2001 siang hari aku pergi ke tempat yang waktu itu pernah ditunjukkan oleh Aldi dan Doni padaku sambil membawa seorang teman yang cukup aku percayai. Ketika kami sampai di tempat itu aku melihat Aldi, Doni dan beberapa warga sedang berkemas. Sepertinya mereka hendak pergi. Ketika kutanyakan apa yang akan mereka lakukan, ternyata mereka mau pindah dari tempat itu ke tempat lain/ Menurut mereka tempat mereka bersembunyi sudah tidak aman dari binatang buas lagi. Pedih rasanya hatiku melihat itu semua...

Tulisan itu pun berakhir di situ. Aku tak menemukan tulisan lagi di belakangnya. Yang aku lihat hanyalah seperti sebuah sobekan. Aku merenungkan apa yang ditulis oleh Rio pada masa itu. Dia membuka mataku untuk peduli pada sesama bahkan pada mereka yang benar-benar membutuhkan. Aku yakin di lembaran berikutnya Rio pasti bercerita bagaimana ia menolong Aldi, Doni dan warga yang digusur itu untuk bertahan hidup. Aku pun jadi ingat, sesungguh itulah makna Natal yang seharusnya aku pahami sejak awal yaitu saling berbagi.

0 komentar:

Posting Komentar

Tunjukkan apresiasimu, karena tulisan ada untuk diapresiasi

Next Prev
▲Top▲