Newest Post

Kata Tak Bertuan

| Jumat, 21 Desember 2012
Baca selengkapnya »
Malam ini begitu dingin. Kaku. Hening. Sepi. Yang terdengar hanyalah suara dentingan air hujan bekas hujan sedari siang tadi hingga malam ini dan dentingan jarum jam yang bergerak dengan malas mengiringi aku yang sedang tak berdaya. Supaya malam tak terlalu sepi, kusetel lagu-lagu Classic Rock, Pop  dan Hardcore. Namun entahlah, musik yang biasanya memberikanku energi positif itu seakan-akan tak memiliki 'energi'-nya lagi. Ku bosan dan lalu aku berjalan-jalan keluar sekadar untuk mencari udara segar, namun dasar bodohnya aku, malam-malam berjalan tanpa jaket, padahal saat itu baru saja hujan dan kulihat orang-orang di depan gang, para tukang ojeg mengenakan sarung karena kedinginan akibat hujan sedari siang. Tak tahu aku kemana. Mau ke rumah sepupuku pun rasanya malas. Entahlah, lalu aku kembali ke rumah, masuk dalam tempatku 'bertapa', tepatnya ke atas loteng rumah.

Aku melayangkan pandanganku ke seluruh penjuru. Mataku menyapu dari utara, timur, selatan, barat dan kembali lagi ke utara. Tak kutemukan sesuatu pun yang menarik bagiku. Yang kulihat hanyalah lampu-lampu halogen dari jauh sana dan lampu-lampu kendaraan yang berkerlap-kerlip di atas jembatan Pasupati. Selain itu tak ada poernama yang biasa menemaniku. Bintang-bintang sahabatku pun tak ada. Biasanya si rasi belantik akan muncul menemaniku kala poernama tak muncul, namun aku tak menemuinya juga. Langit malam terasa gelap tanpa kehadiran mereka. Yang kulihat hanyalah awan-awan gelap yang membawa butiran-butiran embun yang siap untuk dijatuhkan lagi untuk esok hari.

Aku masih ingat kala itu saat aku masih kecil, aku dan temanku suka sekali melakukan sebuah tradisi unik saat hujan tiba. Tradisi unik itu aku sebut sendiri dengan 'terapi air hujan' sebab waktu ku kecil, air hujan masih bagus, bahkan bisa ditampung airnya buat keperluan rumah tangga. Namun sekarang akibat global warming, air hujan menjadi buruk. Sudah tidak cocok untuk digunakan sebagai terapi lagi. Kalau dulu saat aku sedikit demam, lalu hujan-hujanan dalam waktu dua hari aku sudah sembuh. Tapi sekarang jangan harap demam sembuh kalau hujan-hujanan, yang ada malah level penyakitnya naik jadi flu. Setelah cukup lama di loteng dan tak mendapatkan hasil, aku kembali ke 'gua pertapaan'-ku yang kusebut sebagai kamarku sendiri.

Sudah hampir 24 jam penuh aku berada di rumah hari ini dan yang kulakukan hanyalah membaca sebuah novel. Novel Perahu Kertas karya Mba Dewi Lestari. Selama membaca novel itu, aku merasa ada sesuatu yang aku sendiri tak mengerti mengapa aku membacanya, tapi sambil menghabiskan waktu aku membacanya dan setelah 8 jam tanpa henti aku menghabiskan membacanya dari kover depan sampai kover belakang, timbul sejuta pertanyaan dalam pikiranku.


Aku seperti kehilangan Oyon yang suka berpetualang abnormal, jalan dari Cibeureum bareng Niko kemana aja kaki ini melangkah, kehilangan saat dimana dulu aku nyambilan dorongin mobil yang direm tangan. Yang dulu doyan cari jajanan aneh bin ajaib, yang suka membuat gambar-gambar anime dalam setiap lembaran kertas kosong, yang suka menulis-nulis kata-kata dalam lembaran kertas kosong baik itu untuk sendiri atau orang lain, yang suka debat, yang suka main kelereng, yang suka main PS 2 saat weekend, dan suka berkhayal. Pokoknya aku kehilangan jati diriku yang sudah susah payah aku bentuk. Aku idealis, tapi sebenarnya bukan aku. Aku si pemimpi, tapi bukan aku yang sebenarnya saat ini. Aku merasa bahwa hidup ini terlalu realistis tak ada simfoni sama sekali bagiku. Aku seperti menari tanpa sepatu dan musik yang tepat. Memang aku menari indah, namun aku tak tahu apa yang kutarikan, dan kakiku kesakitan.

Sesaat setelah aku membaca Perahu Kertas, aku seakan-akan diingatkan lagi untuk melihat mimpi-mimpi lama yang hampir pudar. Dulu aku ingin sekali jadi penulis. Penulis yang bertualang keliling dunia. Jadi perjalananku itu akan aku tulis dalam buku. Absurd memang, tapi aku ingin hal itu terjadi, wong masuk ITB aja bisa masa mimpi absurdku itu tak mungkin terjadi? Selain itu aku ingin meraih Nobel lewat sastra. Aku tak tahu harus mulai darimana, tapi yang aku tahu, aku harus terus menulis. Entah sampai kapan. Kubongkar lagi kotak mimpi-mimpiku yang sudah dua tahun ini tak kubuka lagi. Beberapa sudah menjadi kenyataan, dan beberapa lagi menguap bersama dengan tetesan air hujan yang terkena kayu bakar yang menyala di depan rumahku.

Kini aku merasa seperti kehilangan diriku lagi. Pertanyaan itu muncul kembali. Siapakah aku ini sebenarnya? Untuk apakah aku hidup? Apa tujuanku hidup? Mungkin aku sudah tahu jawabannya, tapi aku butuh lebih dari sekadar teori. Aku butuh sesuatu yang pasti dalam hidup ini. Haruskah ku memulai lagi dari awal? Aku tak tahu lagi harus berbuat apa, tapi satu hal yang kutahu, aku harus berhenti untuk bertanya kenapa.

Kata Tak Bertuan

Posted by : Unknown
Date :Jumat, 21 Desember 2012
With 0komentar
Tag :
Next Prev
▲Top▲