Newest Post

Aku, Perwira Romawi

| Jumat, 29 Maret 2013
Baca selengkapnya »

Pagi itu,
Kulihat keriuhan di Yerusalem
Para Majelis Ulama, Tua-Tua, Ahli-ahli Taurat, Orang Farisi
Mereka sambil diiringi orang-oramg Ibrani
Terlihat seperti menyeret seseorang
Tampaknya seperti pemberontak
Karena orang itu dikawal ketat
Namun aku lihat hanya ada satu orang
Aneh bagiku
Pemberontak seperti apakah orang itu?

Lalu kemudian samar-samar dari kejauhan
Kulihat orang itu digeletakan begitu saja di tengah lapangan
Hari itu masih pagi
Masih dingin
Pengadilan belum bisa dilaksanakan
Dia terduduk di dekat api unggun
Kusuruh para tentara untuk menyesah-Nya
Karena aku dengar, Dia adalah pemberontak

Pagi itu sidang dibuka
Pontius Pilatus berdiri di altarnya
Dia berkata
"Benarkah Kau Raja orang Yahudi?"
Orang yang ditanya itu diam saja tak bersuara
Menggelengkan kepala pun tidak
Ia hanya menatap mata Pontius Pilatus

Kudengar para majelis mengatakan umpatan-umpatan
Kesaksian demi kesaksian dilontarkan
Namun aku seperti tak mengerti maksudnya
Satu yang kutahu, Dia adalah Raja orang Yahudi
Bagiku, tak ada raja selain Kaisar
Maka timbul kebencianku pada orang itu

Kudengar hukuman telah dijatuhkan.
Orang itu dijatuhi hukuman mati
Aku pun setuju.
Lalu atas perintah para ahli Taurat dan Tua-tua Yahudi
Aku kerahkan prajuritku untuk menyesah Dia
Aku suruh mereka mencambuk dengan tali cambuk paku
Lalu aku hina Dia sambil berkata
"Salam hai Raja Yahudi"
Lalu aku pukul kepalanya dengan buluh
Darah-Nya pun mengucur

Aku perintahkan para prajurit untuk mengenakan kayu pada lengan-Nya
Sementara itu aku naik kuda ke bukit Tengkorak
Di sana aku menunggu rombongan prajurit yang mengawal orang-orang yang akan disalib
Siang itu ada 3 orang yang di salib
Dua diantaranya adalah para penyamun kelas berat
Satu lagi adalah orang yang disebut Raja orang Yahudi.
Aku amati dari jauh,
Dua penyamun itu sudah mendekat ke bukit
Namun tak kulihat Raja orang Yahudi itu
Lama aku menunggu
Kemudian aku lihat
Orang itu muncul
Tapi terlihat lemah
Peluh membasahi sekujur tubuhnya
Dia memang tak memanggul salib itu
Orang lain memanggul salib itu
Dia tampak tak punya kekuatan lagi

Kemudian aku suruh para prajurit mendekat
Mereka kusuruh melucuti seluruh pakaian para terpidana mati
Termasuk Dia
Para prajurit membagi-bagi pakaian orang itu
Lalu kusuruh seorang prajurit ambil paku dan palu
Paku yang dipakai bukan paku biasa
Ku suruh tuk memaku kedua tangan dan  kedua kaki-Nya di kayu
Namun ada yang aneh bagiku
Dia tak bersuara sedikitpun
Dia menahan perih
Tapi tak bersuara
Aku heran dengan tahanan ini
Siapakah Dia sebenarnya?

Setelah semua siap
Salib-salib itu ditegakkan
Dia ada diantara kedua penyamun itu
Kutatap terpidana mati itu
Dia tampak seperti bukan pemberontak
Bukan, Dia bukan pemberontak
Dia juga tampak seperti penjahat keji
Aku hafal betul seperti apa penjahat keji
Namun ada yang aneh dengan wajah-Nya
Semua orang yang menonton bersorak
"Jika Kau Anak Allah, selamatkan diri-Mu"
"Semua orang Ia selamatkan, tapi Ia sendiri tak dapat Ia selamatkan."
Aku dengar Dia Anak Allah
Benarkah Ia Anak Allah
Aku sering dengar Dia banyak melakukan mukjizat
Apakah Dia ini Mesias?
Ada yang aneh dengan diri-Nya

Saat itu tengah hari
Tiba-tiba langit yang cerah berubah menjadi gelap gulita
Gempa bumi yang hebat terjadi
Kubur-kubur terbuka
Membuat semua orang lari ketakutan menyelamatkan diri
Aku pun ketakutan
Lalu aku dengar Dia berucap
"Eli, Eli, lamasabakhtani?"
Kudengar itu seperti bahasa Ibrani
Lama setelah itu Dia berucap
"Sudah Selesai"
Lalu tiba-tiba Ia mati
Mati
Benar-benar mati
Kulihat wajah-Nya
Wajah itu tampak teduh sekali
Tak kulihat wajah setenang itu
Ia tampak berbeda
Wajah-Nya tampak seperti anak dewa
Aku pun berkata
"Sungguh, Dia ini orang benar"

Aku akui, Dia orang benar
Dia bukan pemberontak,
Walau Dia terhitung di antara pemberontak
Dia bukan penjahat
Walau Dia berada di sekitar penjahat
Dia berbeda
Dapat kulihat warna muka-Nya yang tak berdosa
Memang Dia orang benar
Aku pun yakin
Dia adalah Mesias
Mesias yang ditugaskan menyelamatkan manusia

Aku, Perwira Romawi

Posted by : Unknown
Date :Jumat, 29 Maret 2013
With 0komentar

Cahaya, Bukit, dan Aku

| Kamis, 21 Maret 2013
Baca selengkapnya »
Bunga-bunga yang bermekaran sore ini sekarang kembali menguncup karena mentari telah kembali tertidur. Para mamalia kecil sudah masuk ke dalam sarangnya. Ada yang di dalam tanah, di dalam batang pohon, ada juga yang di balik batu-batu besar di bukit. Burung-burung sudah bergegas untuk kembali ke sarang mereka. Saat itu jam menunjukkan jam lima tepat. Para peladang sudah memanggul kembali pacul dan arit serta berkas-berkas rumput untuk makanan sapi dan kerbau mereka. Anak-anak yang berlari-lari sudah masuk diiringi oleh ibu mereka ke dalam rumah, persis seperti para peternak bebek yang mengatur baris bebek ke dalam kandang.

Mentari makin condong ke ufuk barat dan rembulan kini yang datang bersiap menemani bumi. Anjing-anjing liar mulai berkeliaran. Mereka mengawasi sambil sesekali memburu betina untuk diajak bercinta. Burung-burung hantu bermunculan satu-satu. Mengawasi ladang dari tikus-tikus rakus yang tak henti-hentinya menggerogoti kebun. Sirius pun muncul menemani rembulan untuk yang pertama kalinya. Malam belumlah larut, namun suasana desa di kaki bukit itu sudah tampak lengang. Lampu-lampu redup yang menerangi jalanan, hanya terhalangi oleh segelintir orang. Yang terlihat hanyalah penjaga malam dan penjaja makanan hangat di sela-sela rumah. Malam belumlah larut.

Jam dinding terlihat berdetak dengan malas. Ketenangan malam itu membuatku tak dapat berbuat apapun. Rasanya begitu sunyi. Tak ada sedikitpun gemerisik di luar jendela sana. Hanya suara angin sepoi-sepoi basa yang berhasil menyusup melalui ventilasi udara. Hanya suara nyamuk yang berhasil mengusik ketenangan malam ini. Sisanya, hanyalah kesunyian, kehampaan, ketenangan. Wajah rembulan masih sama seperti yang pernah ku kenal sewaktu ku kecil. Sirius pun demikian. Kedua sosok penghuni jagat raya itu masih menemani dan mengiringi bumi kemanapun ia pergi, tapi mereka hanya muncul ketika aku meminta mereka datang. Mereka bercahaya hanya untukku seorang. Malam itu pun langit tampak cerah. Dengan jelas dapat ku sapa gugusan rasi biduk di utara sana. Aku pun melihat komet Halley yang bergerak dengan penuh keceriaan malam itu. Ku sapa dia dan ku harap dia mau mampir sejenak. Gemerlap Andromeda terlihat dengan mata telanjang.

Di ujung bukit sana, tampak segenggam cahaya. Cahaya itu seperti nyala kobaran api. Aku melihat sebuah siluet dan samar-samar terlihat wajahnya. Wajahnya tampak seperti seorang perempuan muda, berlesung dua, rambutnya yang hitam mengilap dan sepinggang. Dia tampak seperti menuruni bukit itu selangkah demi selangkah sambil menjaga baju panjangnya yang tertiup hembusan angin dan menjaga kobaran api dari obornya. Anjing-anjing malam yang semenjak tadi tampak bermalasan kemudian menjadi tegap dan menyongsong perempuan itu, membentuk barisan sebagai jalan untuk perempuan tadi. Perlahan, namun pasti perempuan itu berjalan. Dia tampak seperti dituntun. Cahaya rembulan lalu menerpa wajahnya, dan dapat kulihat wajahnya yang cerah, secerah cahaya sang rembulan. Bibir merah tipisnya tampak tersenyum dan kedua bola matanya, tampak jelas seperti ia memandang ke arahku. Lalu tiba-tiba cahaya sirius mengenai wajahku dan tubuhku. Tubuhku tampak bersinar terang, kuning keemasan. Sirius tampak seperti berkata supaya aku menyongsongnya. Aku pun melompat keluar dari kamarku, menuruni atap rumahku dan berjalan dengan tergesa menyongsong perempuan itu. Aku dekati perempuan itu selangkah demi selangkah, dengan cara yang lambat mengikuti tempo langkah perempuan itu. Kutatap kedua bola mata indah itu. Bola matanya tampak berbicara kepadaku. Seberapa beranikah kau menculikku dari ayahku, begitu ucap kedua bola matanya. Ku genggam kedua tangannya dan kudekap dia sambil berbisik, kan kuculik kau malam ini juga.

Cahaya, Bukit, dan Aku

Posted by : Unknown
Date :Kamis, 21 Maret 2013
With 0komentar

Surat Si Kertas Tukar

| Senin, 18 Maret 2013
Baca selengkapnya »

Wajahku tak begitu rupawan
Aku tak punya kekuatan
Aku begitu lemah dan rapuh
Aku mudah hancur dan terbakar

Namun walau keadaanku seperti itu
Masih saja banyak yang mencariku
Mereka rela membuang segalanya hanya untukku
Padahal aku sendiri tak pernah memberikan apa-apa untuk mereka

Aku sebenarnya diciptakan oleh manusia
Aku bisa menjadi tuan sekaligus hamba di saat yang bersamaan
Itu semua bergantung dari bagaimana caramu memperlakukanku
Aku juga sebenarnya digunakan untuk melayanimu

Terkadang aku tak mengerti
Aku tidak cantik atau ganteng
Tapi banyak yang menyukaiku
Aku tidak pernah berkorban untuk manusia
Tapi banyak orang yang berkorban untukku
Aku bukanlah tuan
Tapi banyak yang menghambakan diri padaku
Aku bukanlah Tuhan
Tapi banyak yang menyembah dan memujaku

Aku seharusnya menjadi hamba bagimu
Namun kamu terlalu sering menghamba padaku
Kau sering mengejarku
Padahal aku diam saja

Aku hanya ada di dunia
Ketika kau mati, aku tak ikut bersamamu
Ketika kau bertemu dengan Pencipta, aku tak bersamamu
Aku masih di dunia
Aku tidak akan pergi kemana-mana
Ketika kau bertemu dengan Pencipta, aku tak ada gunanya lagi
Itu urusanmu sendiri dengan Sang Pencipta
Urusanku masih banyak

Satu pesan dariku untukmu
Aku tak ada di surga
Jadi jangan mencariku

Salam manis,
Uang


//inspirired by : Bpk. Jumaga T. Sinaga//

Surat Si Kertas Tukar

Posted by : Unknown
Date :Senin, 18 Maret 2013
With 0komentar

Ketenangan Senja

| Kamis, 14 Maret 2013
Baca selengkapnya »

Di senja yang indah, dengan semilir angin, awan-awan kumulus yang tebal, warna mentari menjadi merah kejinggaan di ufuk barat sana, bersiap menghilang di balik horizon. Aku termenung sendirian melihat mentari yang melambaikan tangannya kepadaku. Aku menatap mata mentari lamat-lamat. Gaung kebesarannya sudah dia letakkan dan telah ia siapkan untuk menyinari belahan bumi yang lain. Ia kemudian menyentuh hatiku dan memberikan secercah cahaya untuk kusimpan sebagai janji bahwa ia akan kembali datang untukku. Ya, hanya untukku. Seakan-akan aku adalah manusia paling berharga bagi dirinya dan satu-satunya alasan untuk dia terus tetap hidup.

Belum jauh mentari pergi, masih terlihat samar-samar cahaya jingga keemasannya, nampaklah rembulan, sang dewi malam. Perlahan-lahan dengan anggunnya dia naik ke atas panggung langit. Ku lihat di sebelahnya terdapat Cirius yang menuntun menemaninya bermain di langit malam. Aku suka sekali melihatnya. Cirius dan rembulan kini sudah bersama kembali. Mereka bagaikan dua insan yang dimabuk oleh cinta. Mereka melangkah dengan elegan sambil sesekali diiringi tarian. Para binatang sambil berpadu suara menyambut kedatangan mereka. Tak kurang lama, muncullah bintang-bintang lainnya menghiasi langit malam, menemai Cirius dan rembulan dalam pertunjukkan malam itu.

Malam itu aku duduk seorang diri. Walau mereka telah datang, namun entah pertunjukkan kali itu tampak membosankan bagiku. Aku terlalu lelah. Setelah seharian aku bekerja dalam kegiatan yang penuh dalam tantangan dan marabahaya, aku merasa kelelahan yang begitu sangat. Bahkan aku pun sampai tak sadar, saat cahaya rembulan menaungiku. Sang Dewi tampaknya mengetahui keadaanku sekarang ini. Sang Dewi memahami apa yang aku rasakan malam ini. Lalu Sang Dewi menatap padaku dan menyentuh bahuku dengan lembutnya. Kemudian aku pun menghadapkan wajahku pada Sang Dewi. Aku biarkan Sang Dewi membaca wajahku. Selanjutnya Sang Dewi pun memanggil Cirius. Dengan cepat Cirius melesat dan menghampiriku. Sang Dewi membisikkan sesuatu pada Cirius lalu Sang Dewi melangkah pergi. Cirius kemudian memancarkan cahaya dari tubuhnya dan kemudian cahayanya yang terang itu menyelimuti tubuhku seutuhnya. Cahaya itu kemudian masuk dan membungkus jiwaku dan seketika itu juga tubuhku penuh dengan tenaga dan cahaya. Aku pun bangkit dan aku berdiri. Cahaya itu memberikanku harapan yang baru. Cahaya itu menjadi lampu bagi kedua bola mataku. Kini aku yakin lagi untuk menantang hidup di esok pagi. Aku siap untuk menantang pagi, kembali bergulat bersama mentari

Ketenangan Senja

Posted by : Unknown
Date :Kamis, 14 Maret 2013
With 0komentar

Indonesia Berdukacita

| Jumat, 08 Maret 2013
Baca selengkapnya »
Sudah berapa lama ya kira-kira? Indonesia sepertinya tak ada perubahan yang signifikan hingga saat ini. Yah, setiap pagi dan sore hari di siaran televisi gak henti-henti berbagai macam polemik soal partai ini lah yang bermasalah soal kepengurusannyalah atau soal korupsi yang makin lama makin melebar aja, atau masalah pertanggungan jawaban yang gak kelar-kelar dari jaman jebot.

Padahal di luar sana aku juga lihat, ada orang miskin yang sampe sakit aja susah banget dapet kesehatan, terus ada juga orang pinggiran yang digusur seenaknya lalu ada lagi kejadian-kejadian bencana. Sepertinya bener juga apa jargon orang-orang, "Orang miskin dilarang sakit." Soalnya sekali sakit susahnya gak ketulungan. Tapi gara-gara siapa juga orang miskin kena penyakit? Bukankah kita juga yang merasa ada di kelas marjinal ke atas turut ikut ambil bagian?

Hari ini aku umumkan hari berdukacita bagi Indonesia, karena banyak yang menangis, meringis kesakitan, berduka dan kehilangan. Kebanyakan ya rakyat kecil yang tak dapat berbuat banyak melihat kenyataan hidup ini. Dalam pikiran mereka, mereka berpikir bahwa rasanya sia-sia saja memilih pemerintah yang tak mau turun tangan untuk melihat langsung, mendengar dan merasakan apa yang mereka rasakan. Berharap pada pemerintah? Rasanya itu jauh dari angan-angan seperti bumi dan langit. Begitu pikir mereka.

Hmm... terkadang aku suka berpikir apa sih yang dilakukan para Dewan Perwakilan Rakyat di gedung mereka dengan rambut klimis, parfum, mobil bagus dan dompet tebal mereka? Dimana sih janji-janji mereka semua yang pernah mereka janjikan? Kok sepertinya tak ada bedanya. Uang sekolah, tetap mahal malah makin mahal. Akses jalanan gitu-gitu aja malah beberapa titik sudah rusak tak terawat. Lampu jalanan di beberapa jalan raya malah tak ada bahkan gelap gulita ketika malam. Pengemis masih saja jadi pengemis. Pengamen juga masih jadi pengamen. Pengangguran tetap melanjutkan pekerjaan mereka sebagai pengangguran. Tampak tak ada bedanya.

Terkadang benar juga apa kata mereka tentang para pejabat DPR. Mereka bukan wakil dari rakyat, tapi wakil dari keluarganya dan teman-temannya. Yah mau bilang gimana lagi ya, korupsi aja rajin gitu dan tak ada sedikit pun effort untuk masyarakat. Apakah kami para rakyat harus datang ke gedung DPR dan mengurus masalah negara ini sendirian ramai-ramai sampai seluruh ruangan penuh sesak? Aku rasa tak perlulah begitu. Itulah sebabnya kami memilih para wakil untuk mengurus negara yang besar ini. Memang besar, tapi sepertinya kecil. Negara ini kaya dan juga miskin. Sungguh ironis memang.


Kulihat ibu pertiwi
Sedang bersusah hati
Air matamu berlinang
Mas intanmu terkenang

Hutan gunung sawah lautan
Simpanan kekayaan
Kini ibu sedang susah
Merintih dan berdoa

Kulihat ibu pertiwi
Kami datang berbakti
Lihatlah putra-putrimu
Menggembirakan ibu

Ibu kami tetap cinta
Putramu yang setia
Menjaga harta pusaka
Untuk nusa dan bangsa

Indonesia Berdukacita

Posted by : Unknown
Date :Jumat, 08 Maret 2013
With 0komentar
Next Prev
▲Top▲