Seringkali setiap malam menjelang jam 9 malam, seluruh
keluargaku-lebih tepatnya ayahku- menyetel sebuah statiun televisi yang dimana
suka ada debat politik di acara tersebut. Aku dan adikku menyimaknya-atau lebih
tepatnya tak peduli- pada siaran itu. Aku terutama sebenarnya tak suka
menontonnya. Entahlah kalau melihat para pejabat tinggi negara yang membahas
sebuah masalah pasti bisa lama kelarnya. Gak cuman sekali dua kali, tapi
berkali-kali bahkan malah jadi budaya. Sebelum sebuah masalah beres timbul masalah
lain yang lebih ‘panas’ yang lebih ‘menarik’ sehingga ‘menglungsurkan’ masalah
yang sedang dibahas dan membuat masalah itu ter’abai’kan lengkap dengan keadaan
terakhirnya.
Aku suka sedih kalau lihat aktivitas para pejabat sekarang
ini di gedung DPR dan MPR dan juga di depan teve. Mereka senang banget
bersandiwara. Ada di acara apapun mereka berubah menjadi aktor dan aktris yang
mereka anggap hebat sehingga dapat mendapatkan simpati dari yang menonton. Di
depan kamre mereka sungguh hebat, tapi di kenyataan benar-benar tanda tanya
besar.
Mereka juga punya hobi yang aneh menurutku. Hobi banget
bermain dengan politik. Urusan politik diurus sampe benar-benar kurus namun
ketika mengurus yang lain entahlah, mereka seperti orang udik seudik-udiknya.
Mereka suka heboh seperti kemarin, beli pesawat terbang baru, bikin gedung
baru, beli mobil baru. OK lah beli en bikin, tapi siapa yang biayain? Eh
ternyata rakyat kecil yang bayarin, udah belinya yang gak tanggung-tanggung
lagi mahalnya sampai ngutang kanan kiri, depan belakang. Tapi giliran rakyat
minta kesehatan, pendidikan menghilang sudah. Kalaupun dikasih, yah palingan
seadanya. Mentang-mentang rakyat hidup sederhana, dikasih yang sederhana.
Ada lagi yang bikin aku suka sedih lagi. Masalah kecil
mereka besar-besarin, mereka tumpuk sampai kelihatan. Giliran ada masalah besar
kayak kemarin itu, mereka kubur supaya gak tercium lagi busuknya. Aneh bukan?
Ah bangsaku lucu banget.
Kalau ingat perjuangan kakek-kakek buyutku, aku jadi sedih.
Pengen rasanya membombardir negeri ini sampai benar-benar hancur dan membuat
pemerintahan baru, tapi apa daya. Aku hanyalah anak kemarin sore yang baru bisa
menulis, membaca dan berhitung. Aku cuman cecunguk kecil yang berlari-lari di
padang rumput mengejar layangan seperti mengejar cita-cita yang tak bisa diraih
sama sekali. Aku cuman seekor cicak yang sekali digencet langsung mati. Ah
betapa sedihnya bangsaku ini. Hidup segan mati tak mau. Bercita-cita masuk
surga, tapi kelakuan kayak setan-setan. Ah amat lucunya bangsaku ini.