Newest Post

Para Pengejar Layangan

| Rabu, 27 Juni 2012
Baca selengkapnya »

Di siang hari yang sangat terik di bulan Juni,

“Wah peugat deui euy. Kenapa sih nih gelasannya? Ngapain atuh sekarang?” sesal Udin.
“Udahlah, beli lagi yang baru. Nanti biar si Amir aja yang ngejar.” Hibur Asep “Mir, udag tah layangannya.”
“Siplah.” Amir pun melengos pergi.
“Eh Din, belinya di Ceu Monah ya. Biar dikasih yang bagus gelasan dan layangannya.” teriak Asep sambil Udin berlari menuju sebuah rumah di pinggir lapangan.

Udin, Asep dan Amir adalah tiga sahabat karib. Mereka masing-masing berumur 12 tahun kecuali Amir yang berumur 14 tahun karena pernah tinggal kelas. Mereka baru mau masuk kelas 6 SD. Saat itu mereka sedang liburan dan kegiatan mereka sehari-hari adalah bermain layangan di lapangan sebelah pekuburan umum. Mereka sangat senang bermain layangan bahkan sampai seharian mereka di luar rumah untuk bermain layangan saja. Jika ada layangan putus, pasti mereka akan mengejarnya hingga mereka mendapatkannya. Mereka juga berlomba dengan anak-anak yang lain yang ikut mengejar layangan. Pernah suatu kali karena mereka sangat senang bermain dan mengejar layangan yang putus, mereka hampir membahayakan diri seperti memanjat pohon, menyempil di antara dua tembok yang rapat dan menyebrangi jalan raya yang sangat padat. Mereka pun sempat beberapa kali dimarahi oleh orangtua mereka karena kebiasaan mereka main sampai seharian dan tidak tahu waktu tapi begitulah mereka para pengejar layangan. Tak pernah bisa dipisahkan dari dunia mereka. Hanya musim yang memisahkan mereka. Kebetulan hari itu musim kemarau dan sedang liburan sehingga mereka dapat bermain dengan sepuasnya.

Tak berapa lama Udin pun kembali ke lapangan menemui Asep dan Amir yang kelelahan setelah mengejar layangan.
Kumaha Mir? Dapet gak layangannya?”
Amir menggelengkan kepalanya.
“Ya sudahlah gapapa. Ayo main lagi. Aku dah beli yang baru.” ajak Udin.
Tiba-tiba...
“Heh Udin! Keur naon didieu? Ini teh lahan saya, bukan kamu!” bentak sebuah suara.
Ketika Udin, Amir dan Asep memalingkan muka mereka ke arah suara ternyata yang berbicara adalah Budi Cs.
“Heh! Ngapain kamu ngatur-ngatur saya? Lagian ini teh lapangan umum. Siapa aja bisa make. Apa urusan kamu?” balas Udin.
“Pokoknya mah, kalo saya udah di sini kalian semua kudu pergi termasuk kalian juga. Pergi! Kalo engga babaturan saya bakal ngehajar kamu. Berani kamu?” ledek Budi sambil diiringi tawa sarkas teman-temannya.
“Beuh, wanina keroyokan. Geus lah. Hayulah barudak indit weh.” ucap Asep sambil diiringi kekesalan anak-anak yang lain.
Sebenarnya Udin, Asep, Amir dan anak-anak lain bisa saja melawan Budi, namun Budi kali ini membawa orang-orang yang bertubuh kekar semacam bodyguard. Selain itu jika berkelahi bisa ditindak oleh orangtuanya Budi karena orangtuanya Budi terutama bapaknya adalah pensiunan ABRI jadi mereka memlih mundur dan mengalah.

Kejadian siang itu rupanya diperhatikan oleh seseorang. Dia adalah Mei Ling, anak Thiong Hoa  tulen. Tinggalnya tidak terlalu jauh dari lapangan tempat biasa anak-anak bermain layangan. Mei Ling baru beberapa bulan tinggal di sana. Dia pun belum mengenal anak-anak di daerah itu. Melihat kejadian itu, Mei Ling lalu punya ide. Dia bergegas keluar rumah dan mengejar Udin, Amir dan Asep yang berjalan paling belakang dari rombongan yang kecewa karena surga kecil mereka telah dirampas oleh Budi Cs.

“Hei, hei! Tunggu donk!” teriak Mei Ling memanggil Amir dan kawan-kawan.
“Eh, Mir, denger gak ada suara perempuan manggil?” tanya Asep.
“Denger kok. Sahanya? Ayo atuh kita tengok.” Jawab Amir sambil diikuti oleh anggukan kedua temannya.
Ketika mereka menoleh mereka kaget karena ada seorang gadis kecil yang mengejar mereka. Mereka pun sontak berteriak dan kemudian berlari kocar-kacir. Mei Ling pun merasa heran dengan Amir, Udin dan Asep. Dia pun berpikir apa yang salah. Kemudian dia kembali ke rumah dan mencoba cara lain untuk berteman dengan mereka.

Keesokan siangnya, suasana lapangan kembali ramai dipenuhi oleh anak-anak yang ramai bermain lapangan. Tak terkecuali orang dewasa rupanya ikut terkena virus layangan. Ketika Amir, Udin dan Asep sampai di lapangan, rupanya lapangannya ramai sekali sehingga gak ada tempat lagi.
“Yah kabeurangan ini mah Din. Harusnya rada pagian ke sininya biar dapet tempat.” sesal Amir.
Nyageuslah. Urang ngala’an  layangan aja yuk yang putus sembari nungguan tempat kosong.” jawab Udin sambil diiringi anggukan Amir dan Asep.

Tak berapa lama setelah itu, ada sebuah layangan yang putus karena diadu. Amir, Asep dan Udin pun serta merta lalu lari mengejar layangan tersebut. Rupanya layangan tersebut tergeletak di atas atap rumah Mei Ling. Mereka pun berpikir sejenak sebelum masuk ke pekarangan rumahnya.
“Eh Din, apal teu  rumah ini?” tanya Amir sambil sedikit gelisah.
“Engga, emangnya kenapa gitu Mir?” tanya balik Udin.
“Ini teh rumahnya anak yang kemaren ngejar kita. Ingat gak? Aku teh takut nanti kalau kita ke sana teh kita bakal diapa-apain ama anak itu.” Ucap Amir sambil merinding.
Mendadak tiba-tiba Udin dan Asep pun ikut menjadi ketakutan.
“Oh iyaya. Karek apalI. Wah takut juga nih gimana atuh ya?” tanya Asep.
Mereka pun terdiam di depan rumah Mei Ling.

Tak berapa lama kemudian tiba-tiba pundak Asep dipegang oleh seseorang dan orang itu mulai bicara “Sedang ngapain Dek?”
Mereka pun kemudian menoleh ke arah sumber suara dan mereka pun memohon ketakutan “Hampura Pak. Maaf ngga ngapa-ngapain.” Ucap Asep sambil ketakutan.
Bapak itu pun tersenyum lalu berkata “Apa kalian mau ambil layangan yang ada di rumah itu?”
Serempak ketiganya mengangguk.
“Mari masuk dulu ke rumah bapak. Itu rumah bapak. Ayo.” Ajak bapak itu dengan ramahnya.
Ketiganya pun mengikuti bapak itu dari belakang sambil berdebar-debar jantung mereka memikirkan nanti akan bertemu dengan anak perempuan yang kemarin mengejar mereka.
“Nah mari masuk dulu ya. Duduk dulu di sini. Ohya sebentar ya. Mei! Mei! Kemari nak. Ini ada teman-teman barumu.” Ucap bapak tersebut.
Tak berapa lama anak gadis yang kemarin mengejar mereka pun muncul. Amir, Asep dan Udin pun bergidik lemas dan ketakutan bak melihat pocong di siang bolong mereka bertemu lagi. Melihat raut muka di ketiga bocah tadi bapak tersebut kemudian mencoba menjelaskan.
“Ini namanya Mei Ling. Dia baru di sini sekitar dua bulan.  Ayo Mei kenalan dulu.”
Kemudian Mei pun mengulurkan tangan sambil menganyam senyum terbaiknya. Amir, Asep dan Udin mengulurkan tangan mereka sambil masih merasa ketakutan. Kemudian Amir pun berkata
“Kemarin ke,,kenapa kamu ngejar kami?” tanyanya sambil ketakutan.
“Oh kemarin saya mau kenalan ama kalian, tapi kaliannya malah lari. Padahal saya juga suka lho main layangan malah saya punya layangan yang bagus.” Jawab Mei Ling sambil tersenyum yang menimbulkan kekagetan Udin dan kawan-kawan terhadap teman barunya ini.
“Oh jadi kalian sebelumnya sudah pernah bertemu ya. Bagus deh kalau begitu. Oh ya. Bapak masih ada kerjaan. Bapak tinggal dulu ya. Kalian mainnya jangan jauh-jauh ya.’ Ucap bapak Mei Ling diiringi anggukan.

Kemudian Mei Ling pun mengajak mereka ke loteng dan menunjukkan koleksi layangan yang dia punyai. Amir, Asep dan Udin berdecak kagum melihat koleksi layangan yang Mei Ling punya. Mereka tak menyangka rupanya ada anak perempuan juga yang suka dengan layangan.
“Apakah kamu suka main layangan Mei?” tanya Udin.
“Tidak, tapi saya suka sekali membuat layangan. Rasanya sangat menyenangkan. Waktu dulu saya di Cina, saya pernah diajari oleh seorang guru dalam membuat layangan dan kini lihatlah koleksi saya. Saya tak mau memainkannya karena saya tak bisa menerbangkannya.” Jelas Mei Ling.
“Wah kamu teh hebat pisan. Bisa ajarin kami gak bikin layangan, nanti kami ajarin cara nerbangin layangan hias kamu? Gimana teman-teman?” tanya Udin sambil diiringi anggukan teman-temannya.
“Oke deh kalau begitu. Ayo aku ajak kalian ke halaman belakang untuk membuat layangan. Di sana semua bahan yang kita perlukan sudah lengkap.” Ajak Mei Ling.

Siang itu mereka menghabiskan waktu di rumah Mei Ling, teman baru mereka, membuat layangan hias. Mereka begitu menikmati kegiatan sore hari itu apalagi mereka akhirnya mendapat teman baru. Ternyata membuat layangan begitu sulit bagi Amir, Asep dan Udin. Mei Ling tersenyum melihat keseriusan mereka dalam membuat layangan. Mereka pun akhirnya berhasil membuatnya walau sudah beberapa kali. Mei Ling pun mengacungkan jempol buat mereka. Matahari kian condong ke barat maka Amir, Udin dan Asep pun pamit pulang dan berjanji akan mengajak Mei Ling bermain layangan besok siang.

Besok siangnya Amir, Udin dan Asep sudah bertandang di rumah Mei Ling. Kemudian Mei Ling pun keluar rumah dan mereka pun berjalan beriringan menuju tanah lapang yang sepi orang dan mulai menerbangkan layangan mereka masing-masing. Mereka menerbangkan layangan hias yang kemarin mereka buat. Layangan Amir berbentuk roket, layangan Udin berbentuk segilima, layangan Asep berbentuk segidelapan, sedangkan layangan Mei Ling berbentuk wajah naga. Mereka asyik menerbangkan layangan hias mereka.
“Wah geunah ogenya main layangan teh gak diadu gini. Aralus deui.” Decak kagum Amir.
“Iya nih, enakeun  gitu. Apa kamu di Cina main layangannya begini?” tanya Udin.
“Iya Udin, kami di Cina memainkan layangan seperti ini. Maksudnya adalah sebagai penolak bala.” Jelas Mei Ling.

Anak-anak lain yang melihat mereka berempat memainkan layangan di tempat lain pun tertarik. Mereka pun segera menuju tempat Amir dan kawan-kawan bermain layangan. Mereka terpana dengan layangan yang diterbangkan.
“Udin, kamu beli layangan di mana?” tanya Deni.
“Oh engga Den. Ini mah bikin sendiri. Buat koleksi weh  ini mah. Bukan aduan.” Jelas Udin
“Ih, kabita da. Din ajarin dong?” pinta Toni sambil diikuti dengan teman-teman yang lain.
“Aku mah gak bisa. Ini nih yang bantuin kami teh. Mei Ling ngaranna teh Kemarin dia yang ngajarin. Kalau mau, minta ajarin Mei Ling aja. Mei Ling mau gak ngajarin yang lain?” tanya Udin. Mei Ling pun mengangguk.

Mereka semua pun senang karena diajak Mei Ling untuk membuat layangan hias. Mereka pun ke rumah Mei Ling. Melihat rombongan anak-anak, bapak Mei Ling kaget dibarengi dengan senyuman. Bapak Mei Ling pun menyambut anak-anak yang datang ke rumahnya. Kemudian beliau pun mendatangi Amir, Asep dan Udin.
“Amir, Asep, Udin makasih ya.” Ucap bapak Mei Ling sambil berlinang air mata.
Melihat ada hal yang kurang beres Asep pun bertanya.
“Kenapa gitu Pak?” tanya Asep penasaran.
“Begini lho anak-anak, Mei Ling itu sebenarnya dia itu susah sekali untuk di ajak bergaul. Dia masih mengalami trauma dengan layangan, tapi sejak dia berteman dengan kalian, dia jadi lebih periang seperti biasanya. Sekarang malah dapat teman yang banyak seperti ini. Bapak sangat berterima kasih sama kalian ya.” Jelas Bapak Mei Ling
“Ah Pak kami justru yang terima kasih karena kami boleh diajarkan membuat layangan. Kami sangat senang bisa bermain dengan Mei Ling.” Ungkap Udin.
“Yah, sama-sama ya. Oh ya kalau ada perlu lagi nanti temui bapak saja ya.” Kata Bapak Mei Ling. Ketiga sahabat itu pun mengangguk dan tersenyum. Mereka terlihat gembira terutama Mei Ling yang gembira mendapat teman-teman baru. Apa yang mereka lakukan jauh lebih berharga dari yang mereka kira yaitu persahabatan. Pada akhirnya Mei Ling pun jadi pengejar layangan bersama Amir, Udin dan Asep.

========================================================================
========================================================================

Buah dari persahabatan selalu lebih besar dari yang kita kira. Apapun yang kita lakukan pada sahabat kita, sadar tidak sadar mempengaruhi kehidupan sahabat dan orang di sekeliling kita. Oleh karena itu berikanlah buah yang baik buat sahabat kita.

Para Pengejar Layangan

Posted by : Unknown
Date :Rabu, 27 Juni 2012
With 0komentar
Next Prev
▲Top▲