Di siang hari yang sangat terik
di bulan Juni,
“Wah peugat deui euy. Kenapa sih nih gelasannya?
Ngapain atuh sekarang?” sesal Udin.
“Udahlah,
beli lagi yang baru. Nanti biar si Amir aja yang ngejar.” Hibur Asep “Mir, udag tah layangannya.”
“Siplah.”
Amir pun melengos pergi.
“Eh Din,
belinya di Ceu Monah ya. Biar dikasih yang bagus gelasan dan layangannya.” teriak
Asep sambil Udin berlari menuju sebuah rumah di pinggir lapangan.
Udin, Asep
dan Amir adalah tiga sahabat karib. Mereka masing-masing berumur 12 tahun
kecuali Amir yang berumur 14 tahun karena pernah tinggal kelas. Mereka baru mau
masuk kelas 6 SD. Saat itu mereka sedang liburan dan kegiatan mereka
sehari-hari adalah bermain layangan di lapangan sebelah pekuburan umum. Mereka sangat
senang bermain layangan bahkan sampai seharian mereka di luar rumah untuk bermain
layangan saja. Jika ada layangan putus, pasti mereka akan mengejarnya hingga
mereka mendapatkannya. Mereka juga berlomba dengan anak-anak yang lain yang
ikut mengejar layangan. Pernah suatu kali karena mereka sangat senang bermain
dan mengejar layangan yang putus, mereka hampir membahayakan diri seperti
memanjat pohon, menyempil di antara dua tembok yang rapat dan menyebrangi jalan
raya yang sangat padat. Mereka pun sempat beberapa kali dimarahi oleh orangtua
mereka karena kebiasaan mereka main sampai seharian dan tidak tahu waktu tapi
begitulah mereka para pengejar layangan. Tak pernah bisa dipisahkan dari dunia
mereka. Hanya musim yang memisahkan mereka. Kebetulan hari itu musim kemarau
dan sedang liburan sehingga mereka dapat bermain dengan sepuasnya.
Tak berapa
lama Udin pun kembali ke lapangan menemui Asep dan Amir yang kelelahan setelah
mengejar layangan.
“Kumaha Mir? Dapet gak layangannya?”
Amir menggelengkan kepalanya.
“Ya sudahlah gapapa. Ayo main
lagi. Aku dah beli yang baru.” ajak Udin.
Tiba-tiba...
“Heh Udin! Keur naon didieu? Ini teh
lahan saya, bukan kamu!” bentak sebuah suara.
Ketika Udin, Amir dan Asep
memalingkan muka mereka ke arah suara ternyata yang berbicara adalah Budi Cs.
“Heh! Ngapain kamu ngatur-ngatur
saya? Lagian ini teh lapangan umum.
Siapa aja bisa make. Apa urusan kamu?” balas Udin.
“Pokoknya mah, kalo saya udah di
sini kalian semua kudu pergi termasuk kalian juga. Pergi! Kalo engga babaturan saya bakal ngehajar kamu.
Berani kamu?” ledek Budi sambil diiringi tawa sarkas teman-temannya.
“Beuh, wanina keroyokan. Geus lah. Hayulah barudak indit weh.” ucap
Asep sambil diiringi kekesalan anak-anak yang lain.
Sebenarnya Udin, Asep, Amir dan
anak-anak lain bisa saja melawan Budi, namun Budi kali ini membawa orang-orang
yang bertubuh kekar semacam bodyguard.
Selain itu jika berkelahi bisa ditindak oleh orangtuanya Budi karena
orangtuanya Budi terutama bapaknya adalah pensiunan ABRI jadi mereka memlih
mundur dan mengalah.
Kejadian siang itu rupanya
diperhatikan oleh seseorang. Dia adalah Mei Ling, anak Thiong Hoa tulen. Tinggalnya tidak terlalu jauh dari
lapangan tempat biasa anak-anak bermain layangan. Mei Ling baru beberapa bulan
tinggal di sana. Dia pun belum mengenal anak-anak di daerah itu. Melihat
kejadian itu, Mei Ling lalu punya ide. Dia bergegas keluar rumah dan mengejar
Udin, Amir dan Asep yang berjalan paling belakang dari rombongan yang kecewa
karena surga kecil mereka telah dirampas oleh Budi Cs.
“Hei, hei! Tunggu donk!” teriak
Mei Ling memanggil Amir dan kawan-kawan.
“Eh, Mir, denger gak ada suara
perempuan manggil?” tanya Asep.
“Denger kok. Sahanya? Ayo atuh kita tengok.” Jawab Amir sambil diikuti oleh
anggukan kedua temannya.
Ketika mereka menoleh mereka
kaget karena ada seorang gadis kecil yang mengejar mereka. Mereka pun sontak
berteriak dan kemudian berlari kocar-kacir. Mei Ling pun merasa heran dengan
Amir, Udin dan Asep. Dia pun berpikir apa yang salah. Kemudian dia kembali ke
rumah dan mencoba cara lain untuk berteman dengan mereka.
Keesokan siangnya, suasana
lapangan kembali ramai dipenuhi oleh anak-anak yang ramai bermain lapangan. Tak
terkecuali orang dewasa rupanya ikut terkena virus layangan. Ketika Amir, Udin
dan Asep sampai di lapangan, rupanya lapangannya ramai sekali sehingga gak ada
tempat lagi.
“Yah kabeurangan ini mah Din. Harusnya rada pagian ke sininya biar dapet
tempat.” sesal Amir.
“Nyageuslah. Urang ngala’an layangan aja yuk yang putus sembari nungguan
tempat kosong.” jawab Udin sambil diiringi anggukan Amir dan Asep.
Tak berapa lama setelah itu, ada
sebuah layangan yang putus karena diadu. Amir, Asep dan Udin pun serta merta
lalu lari mengejar layangan tersebut. Rupanya layangan tersebut tergeletak di
atas atap rumah Mei Ling. Mereka pun berpikir sejenak sebelum masuk ke
pekarangan rumahnya.
“Eh Din, apal teu rumah ini?” tanya Amir sambil sedikit gelisah.
“Engga, emangnya kenapa gitu Mir?”
tanya balik Udin.
“Ini teh rumahnya anak yang kemaren ngejar kita. Ingat gak? Aku teh takut nanti kalau kita ke sana teh kita bakal diapa-apain ama anak itu.”
Ucap Amir sambil merinding.
Mendadak tiba-tiba Udin dan Asep
pun ikut menjadi ketakutan.
“Oh iyaya. Karek apalI. Wah takut juga nih gimana atuh ya?” tanya Asep.
Mereka pun terdiam di depan rumah
Mei Ling.
Tak berapa lama kemudian
tiba-tiba pundak Asep dipegang oleh seseorang dan orang itu mulai bicara “Sedang
ngapain Dek?”
Mereka pun kemudian menoleh ke
arah sumber suara dan mereka pun memohon ketakutan “Hampura Pak. Maaf ngga ngapa-ngapain.” Ucap Asep sambil ketakutan.
Bapak itu pun tersenyum lalu
berkata “Apa kalian mau ambil layangan yang ada di rumah itu?”
Serempak ketiganya mengangguk.
“Mari masuk dulu ke rumah bapak.
Itu rumah bapak. Ayo.” Ajak bapak itu dengan ramahnya.
Ketiganya pun mengikuti bapak itu
dari belakang sambil berdebar-debar jantung mereka memikirkan nanti akan
bertemu dengan anak perempuan yang kemarin mengejar mereka.
“Nah mari masuk dulu ya. Duduk
dulu di sini. Ohya sebentar ya. Mei! Mei! Kemari nak. Ini ada teman-teman
barumu.” Ucap bapak tersebut.
Tak berapa lama anak gadis yang
kemarin mengejar mereka pun muncul. Amir, Asep dan Udin pun bergidik lemas dan
ketakutan bak melihat pocong di siang bolong mereka bertemu lagi. Melihat raut
muka di ketiga bocah tadi bapak tersebut kemudian mencoba menjelaskan.
“Ini namanya Mei Ling. Dia baru
di sini sekitar dua bulan. Ayo Mei
kenalan dulu.”
Kemudian Mei pun mengulurkan
tangan sambil menganyam senyum terbaiknya. Amir, Asep dan Udin mengulurkan
tangan mereka sambil masih merasa ketakutan. Kemudian Amir pun berkata
“Kemarin ke,,kenapa kamu ngejar
kami?” tanyanya sambil ketakutan.
“Oh kemarin saya mau kenalan ama
kalian, tapi kaliannya malah lari. Padahal saya juga suka lho main layangan
malah saya punya layangan yang bagus.” Jawab Mei Ling sambil tersenyum yang
menimbulkan kekagetan Udin dan kawan-kawan terhadap teman barunya ini.
“Oh jadi kalian sebelumnya sudah
pernah bertemu ya. Bagus deh kalau begitu. Oh ya. Bapak masih ada kerjaan.
Bapak tinggal dulu ya. Kalian mainnya jangan jauh-jauh ya.’ Ucap bapak Mei Ling
diiringi anggukan.
Kemudian Mei Ling pun mengajak
mereka ke loteng dan menunjukkan koleksi layangan yang dia punyai. Amir, Asep
dan Udin berdecak kagum melihat koleksi layangan yang Mei Ling punya. Mereka
tak menyangka rupanya ada anak perempuan juga yang suka dengan layangan.
“Apakah kamu suka main layangan
Mei?” tanya Udin.
“Tidak, tapi saya suka sekali
membuat layangan. Rasanya sangat menyenangkan. Waktu dulu saya di Cina, saya
pernah diajari oleh seorang guru dalam membuat layangan dan kini lihatlah
koleksi saya. Saya tak mau memainkannya karena saya tak bisa menerbangkannya.” Jelas
Mei Ling.
“Wah kamu teh hebat pisan. Bisa
ajarin kami gak bikin layangan, nanti kami ajarin cara nerbangin layangan hias
kamu? Gimana teman-teman?” tanya Udin sambil diiringi anggukan teman-temannya.
“Oke deh kalau begitu. Ayo aku
ajak kalian ke halaman belakang untuk membuat layangan. Di sana semua bahan
yang kita perlukan sudah lengkap.” Ajak Mei Ling.
Siang itu mereka menghabiskan
waktu di rumah Mei Ling, teman baru mereka, membuat layangan hias. Mereka begitu
menikmati kegiatan sore hari itu apalagi mereka akhirnya mendapat teman baru. Ternyata
membuat layangan begitu sulit bagi Amir, Asep dan Udin. Mei Ling tersenyum
melihat keseriusan mereka dalam membuat layangan. Mereka pun akhirnya berhasil
membuatnya walau sudah beberapa kali. Mei Ling pun mengacungkan jempol buat
mereka. Matahari kian condong ke barat maka Amir, Udin dan Asep pun pamit
pulang dan berjanji akan mengajak Mei Ling bermain layangan besok siang.
Besok siangnya Amir, Udin dan
Asep sudah bertandang di rumah Mei Ling. Kemudian Mei Ling pun keluar rumah dan
mereka pun berjalan beriringan menuju tanah lapang yang sepi orang dan mulai
menerbangkan layangan mereka masing-masing. Mereka menerbangkan layangan hias
yang kemarin mereka buat. Layangan Amir berbentuk roket, layangan Udin
berbentuk segilima, layangan Asep berbentuk segidelapan, sedangkan layangan Mei
Ling berbentuk wajah naga. Mereka asyik menerbangkan layangan hias mereka.
“Wah geunah ogenya main layangan teh
gak diadu gini. Aralus deui.” Decak kagum
Amir.
“Iya nih, enakeun gitu. Apa kamu di
Cina main layangannya begini?” tanya Udin.
“Iya Udin, kami di Cina memainkan
layangan seperti ini. Maksudnya adalah sebagai penolak bala.” Jelas Mei Ling.
Anak-anak lain yang melihat
mereka berempat memainkan layangan di tempat lain pun tertarik. Mereka pun
segera menuju tempat Amir dan kawan-kawan bermain layangan. Mereka terpana
dengan layangan yang diterbangkan.
“Udin, kamu beli layangan di
mana?” tanya Deni.
“Oh engga Den. Ini mah bikin
sendiri. Buat koleksi weh ini mah. Bukan aduan.” Jelas Udin
“Ih, kabita da. Din ajarin dong?” pinta Toni sambil diikuti dengan
teman-teman yang lain.
“Aku mah gak bisa. Ini nih yang
bantuin kami teh. Mei Ling ngaranna teh Kemarin dia yang ngajarin.
Kalau mau, minta ajarin Mei Ling aja. Mei Ling mau gak ngajarin yang lain?”
tanya Udin. Mei Ling pun mengangguk.
Mereka semua pun senang karena
diajak Mei Ling untuk membuat layangan hias. Mereka pun ke rumah Mei Ling.
Melihat rombongan anak-anak, bapak Mei Ling kaget dibarengi dengan senyuman.
Bapak Mei Ling pun menyambut anak-anak yang datang ke rumahnya. Kemudian beliau
pun mendatangi Amir, Asep dan Udin.
“Amir, Asep, Udin makasih ya.” Ucap
bapak Mei Ling sambil berlinang air mata.
Melihat ada hal yang kurang beres
Asep pun bertanya.
“Kenapa gitu Pak?” tanya Asep
penasaran.
“Begini lho anak-anak, Mei Ling itu
sebenarnya dia itu susah sekali untuk di ajak bergaul. Dia masih mengalami
trauma dengan layangan, tapi sejak dia berteman dengan kalian, dia jadi lebih
periang seperti biasanya. Sekarang malah dapat teman yang banyak seperti ini.
Bapak sangat berterima kasih sama kalian ya.” Jelas Bapak Mei Ling
“Ah Pak kami justru yang terima
kasih karena kami boleh diajarkan membuat layangan. Kami sangat senang bisa
bermain dengan Mei Ling.” Ungkap Udin.
“Yah, sama-sama ya. Oh ya kalau
ada perlu lagi nanti temui bapak saja ya.” Kata Bapak Mei Ling. Ketiga sahabat
itu pun mengangguk dan tersenyum. Mereka terlihat gembira terutama Mei Ling
yang gembira mendapat teman-teman baru. Apa yang mereka lakukan jauh lebih
berharga dari yang mereka kira yaitu persahabatan. Pada akhirnya Mei Ling pun
jadi pengejar layangan bersama Amir, Udin dan Asep.
========================================================================
========================================================================
Buah dari persahabatan selalu lebih besar dari yang kita kira. Apapun yang kita lakukan pada sahabat kita, sadar tidak sadar mempengaruhi kehidupan sahabat dan orang di sekeliling kita. Oleh karena itu berikanlah buah yang baik buat sahabat kita.