Newest Post

Cahaya, Bukit, dan Aku

| Kamis, 21 Maret 2013
Baca selengkapnya »
Bunga-bunga yang bermekaran sore ini sekarang kembali menguncup karena mentari telah kembali tertidur. Para mamalia kecil sudah masuk ke dalam sarangnya. Ada yang di dalam tanah, di dalam batang pohon, ada juga yang di balik batu-batu besar di bukit. Burung-burung sudah bergegas untuk kembali ke sarang mereka. Saat itu jam menunjukkan jam lima tepat. Para peladang sudah memanggul kembali pacul dan arit serta berkas-berkas rumput untuk makanan sapi dan kerbau mereka. Anak-anak yang berlari-lari sudah masuk diiringi oleh ibu mereka ke dalam rumah, persis seperti para peternak bebek yang mengatur baris bebek ke dalam kandang.

Mentari makin condong ke ufuk barat dan rembulan kini yang datang bersiap menemani bumi. Anjing-anjing liar mulai berkeliaran. Mereka mengawasi sambil sesekali memburu betina untuk diajak bercinta. Burung-burung hantu bermunculan satu-satu. Mengawasi ladang dari tikus-tikus rakus yang tak henti-hentinya menggerogoti kebun. Sirius pun muncul menemani rembulan untuk yang pertama kalinya. Malam belumlah larut, namun suasana desa di kaki bukit itu sudah tampak lengang. Lampu-lampu redup yang menerangi jalanan, hanya terhalangi oleh segelintir orang. Yang terlihat hanyalah penjaga malam dan penjaja makanan hangat di sela-sela rumah. Malam belumlah larut.

Jam dinding terlihat berdetak dengan malas. Ketenangan malam itu membuatku tak dapat berbuat apapun. Rasanya begitu sunyi. Tak ada sedikitpun gemerisik di luar jendela sana. Hanya suara angin sepoi-sepoi basa yang berhasil menyusup melalui ventilasi udara. Hanya suara nyamuk yang berhasil mengusik ketenangan malam ini. Sisanya, hanyalah kesunyian, kehampaan, ketenangan. Wajah rembulan masih sama seperti yang pernah ku kenal sewaktu ku kecil. Sirius pun demikian. Kedua sosok penghuni jagat raya itu masih menemani dan mengiringi bumi kemanapun ia pergi, tapi mereka hanya muncul ketika aku meminta mereka datang. Mereka bercahaya hanya untukku seorang. Malam itu pun langit tampak cerah. Dengan jelas dapat ku sapa gugusan rasi biduk di utara sana. Aku pun melihat komet Halley yang bergerak dengan penuh keceriaan malam itu. Ku sapa dia dan ku harap dia mau mampir sejenak. Gemerlap Andromeda terlihat dengan mata telanjang.

Di ujung bukit sana, tampak segenggam cahaya. Cahaya itu seperti nyala kobaran api. Aku melihat sebuah siluet dan samar-samar terlihat wajahnya. Wajahnya tampak seperti seorang perempuan muda, berlesung dua, rambutnya yang hitam mengilap dan sepinggang. Dia tampak seperti menuruni bukit itu selangkah demi selangkah sambil menjaga baju panjangnya yang tertiup hembusan angin dan menjaga kobaran api dari obornya. Anjing-anjing malam yang semenjak tadi tampak bermalasan kemudian menjadi tegap dan menyongsong perempuan itu, membentuk barisan sebagai jalan untuk perempuan tadi. Perlahan, namun pasti perempuan itu berjalan. Dia tampak seperti dituntun. Cahaya rembulan lalu menerpa wajahnya, dan dapat kulihat wajahnya yang cerah, secerah cahaya sang rembulan. Bibir merah tipisnya tampak tersenyum dan kedua bola matanya, tampak jelas seperti ia memandang ke arahku. Lalu tiba-tiba cahaya sirius mengenai wajahku dan tubuhku. Tubuhku tampak bersinar terang, kuning keemasan. Sirius tampak seperti berkata supaya aku menyongsongnya. Aku pun melompat keluar dari kamarku, menuruni atap rumahku dan berjalan dengan tergesa menyongsong perempuan itu. Aku dekati perempuan itu selangkah demi selangkah, dengan cara yang lambat mengikuti tempo langkah perempuan itu. Kutatap kedua bola mata indah itu. Bola matanya tampak berbicara kepadaku. Seberapa beranikah kau menculikku dari ayahku, begitu ucap kedua bola matanya. Ku genggam kedua tangannya dan kudekap dia sambil berbisik, kan kuculik kau malam ini juga.

Cahaya, Bukit, dan Aku

Posted by : Unknown
Date :Kamis, 21 Maret 2013
With 0komentar
Next Prev
▲Top▲